Oleh: Triyanto M. Faraz
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Dengan satu sentuhan layar, berita dari belahan dunia bisa langsung kita baca. Dengan satu unggahan, seseorang bisa terkenal dalam semalam. Tapi di balik semua kemudahan itu, ada sesuatu yang pelan-pelan terkikis: akhlak.
Dalam Islam, akhlak bukan sekadar sopan santun di depan orang lain. Akhlak adalah cermin keimanan: bagaimana kita menjaga hati, lisan, mata, telinga, dan jari agar selalu berada di jalan yang diridhai Allah. Rasulullah ﷺ pernah menegaskan, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Ahmad). Jadi, inti risalah Islam sebenarnya adalah pendidikan akhlak.
Lalu, bagaimana nasib akhlak di tengah dunia digital yang riuh ini?
Ketika Buruk Jadi Biasa
Media sosial ibarat panggung besar. Semua orang bebas tampil, entah dengan kebaikan atau keburukan. Masalahnya, perilaku buruk sering kali justru ditonton lebih banyak orang. Komentar pedas, gosip, pamer berlebihan, bahkan konten yang jelas-jelas melanggar norma agama, bisa mendapat jutaan “like”.
Akhirnya, yang salah terasa biasa. Yang memalukan dianggap lucu. Yang seharusnya dijaga justru dipamerkan. Padahal Allah sudah mengingatkan: “Tiada satu kata pun yang terucap melainkan ada malaikat pengawas yang selalu siap.” (QS. Qaf: 18). Kalau lisan saja diawasi, apalagi jari yang mengetik dan membagikan konten.
Idola Baru yang Tak Selalu Patut Ditiru
Generasi muda sekarang lebih kenal influencer daripada ulama. Lebih hafal jargon seleb TikTok daripada nasihat orang tuanya sendiri. Tidak semua figur publik buruk, tentu saja. Ada juga yang berdakwah dengan kreatif di dunia maya. Tapi faktanya, banyak anak belajar “nilai hidup” dari orang yang sukses secara materi, namun jauh dari akhlak Islami.
Akibatnya, ukuran sukses bergeser. Bukan lagi soal keberkahan atau ridha Allah, tapi seberapa banyak followers, seberapa viral, atau seberapa banyak endorse.
Filter Diri yang Rapuh
Ponsel di tangan sebenarnya seperti pisau tajam. Ia bisa dipakai untuk memasak kebaikan, tapi juga bisa melukai diri sendiri. Anak-anak (bahkan orang dewasa) sering sulit menahan diri. Awalnya hanya ingin menonton sebentar, tahu-tahu sudah larut berjam-jam di dunia maya.
Inilah pentingnya tazkiyatun nafs—penyucian jiwa. Bukan sekadar tahu mana yang benar dan salah, tapi mampu menahan diri dari yang salah meski tidak ada yang melihat. Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi (muraqabah) adalah benteng terbaik dalam menghadapi derasnya arus digital.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah. Kita butuh strategi nyata agar akhlak tetap hidup di tengah era digital.
1. Jangan kalah di ruang digital.
Dai, guru, dan orang baik harus hadir di media sosial. Jangan biarkan ruang digital hanya diisi konten kosong. Dakwah bisa dikemas dengan bahasa ringan, desain menarik, bahkan humor segar, tanpa kehilangan nilai.
2. Keluarga jadi benteng pertama.
Orang tua harus hadir, bukan sekadar secara fisik, tapi juga digital. Sesekali ikut nimbrung melihat apa yang ditonton anak, memberi contoh bagaimana bermedia dengan adab.
3. Ajarkan literasi digital Islami.
Literasi digital bukan sekadar tahu cara menggunakan aplikasi, tapi juga paham adabnya: apa yang boleh diunggah, apa yang tidak pantas dibagikan, dan apa konsekuensinya di dunia serta akhirat.
4. Perbanyak teladan nyata.
Anak-anak lebih mudah meniru daripada mendengar nasihat panjang. Kalau orang tua bisa menahan diri dari posting berlebihan, anak pun belajar. Kalau guru bisa mengendalikan diri di ruang digital, murid pun meniru.
Penutup
Era digital tidak bisa kita tolak. Ia sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan teknologi ini tidak mengikis akhlak, tapi justru memperkuatnya.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi). Maka ukuran mulia di sisi Allah bukanlah seberapa canggih gawai kita, atau seberapa viral kita di dunia maya, tetapi seberapa indah akhlak kita, di dunia nyata maupun dunia digital.