Oleh: Triyanto M. Faraz
Dulu, kita bangga menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya timur—ramah, santun, dan menjunjung tinggi tata krama dalam bertutur maupun bertindak. Tapi hari ini, pemandangan di media sosial justru memperlihatkan wajah yang sangat berbeda: komentar penuh caci maki, umpatan tak beretika, serta penghinaan yang dilontarkan dengan ringan, seolah tak berdosa.
Ironi ini makin nyata ketika berbagai penelitian internasional menyebut bahwa masyarakat Indonesia tergolong yang paling "barbar" dalam bermedia sosial. Sungguh menyedihkan. Negeri yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan sopan santun kini tampak kehilangan adab di ruang digital.
Bagi sahabat yang membaca tulisan ini dan merasa belum pernah menjumpai kondisi seperti itu, bersyukurlah. Itu pertanda Anda termasuk yang terjaga dari keburukan digital, atau berada dalam lingkaran pertemanan yang sehat. Namun, jika ingin melihat sendiri bagaimana kondisi yang saya maksud, cobalah buka kolom komentar pada berita-berita politik, atau unggahan akun-akun tokoh publik. Bukan isi postingannya yang jadi soal, tapi komentar netizen di bawahnya—penuh hujatan, saling tuduh, makian, dan hinaan yang tak lagi mengindahkan norma atau sopan santun.
Apakah ini wajah baru bangsa kita? Ataukah sejak lama memang ada tabiat seperti ini yang tersembunyi, dan kini menemukan pelampiasannya di media sosial? Sebagian pihak bahkan melihat bahwa budaya debat ala buzzer politik—yang dibentuk dengan framing, narasi fitnah, dan serangan personal—telah merusak cara berpikir dan berkomunikasi publik kita. Awalnya hanya di lingkaran politik, tapi lama-kelamaan menjadi gaya debat umum yang brutal dan melampaui batas keadaban.
Tentu tidak semua warga dunia maya seperti itu. Masih banyak yang menjaga tutur kata, menyampaikan kritik dengan santun, dan memilih diam daripada menghina. Tapi suara-suara bising dan penuh kebencian seolah lebih dominan dan mencemari ruang bersama kita.
Inilah krisis akhlaq komunikasi yang sedang kita hadapi. Bukan sekadar soal etika digital, tapi persoalan mendasar tentang siapa kita sebagai bangsa. Jika ruang digital terus dibiarkan tanpa upaya perbaikan akhlaq, maka yang rusak bukan hanya interaksi online, tapi juga karakter masyarakat secara luas.
Apakah kita akan tetap membiarkan kebencian menjadi bahasa baru di era digital ini? Atau kita mulai membangun kembali ruang percakapan yang beradab—karena dari sanalah masa depan bangsa yang sehat bisa dimulai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar