(Refleksi hari pertama berpisah dengan anak untuk belajar di Pondok Pesantren)
Subuh itu terasa berbeda. Suara adzan yang biasanya menjadi alarm semangat, pagi itu justru seperti mengetuk-ngetuk dada. Putri kami masih lelap dalam tidurnya. Wajahnya tenang. Damai. Namun justru itulah yang membuat hati kami seperti remuk pelan-pelan. Hari itu adalah hari pertama tahun ajaran baru bagi anak sekolah. Hari dimana kami harus mengantar anak tercinta ke pondok pesantren. Resmi mondok. Resmi berpisah. Meski untuk belajar.
Beberapa bulan sebelumnya, kami sudah membulatkan niat. Ada harapan besar dan tulus agar anak kami mendapat pendidikan agama yang kuat, lingkungan yang baik, dan pembiasaan hidup Islami yang mungkin sulit kami wujudkan sepenuhnya di rumah. Kami menyadari betul, zaman sekarang tantangan begitu banyak. Teman, lingkungan, gadget, konten digital semuanya sangat sulit dikendalikan. Maka kami putuskan: melanjutkan ke jenjang SMP-nya di pondok pesantren, di MBS Pleret.
Tentu tidak serta-merta mudah. Anak kami pun awalnya agak berat menerima rencana ini. Sebagai orang tua, kami berusaha sabar dan lembut membujuk. Kami ajak ngobrol pelan-pelan. Kami tunjukkan sisi baiknya, manfaatnya, nilai besar di baliknya. Kami berkali-kali menyisipkan doa agar hatinya dilapangkan. Alhamdulillah, akhirnya ia mau. Kami daftarkan ia ke Muhammadiyah Boarding School Pleret yang kami percaya bisa menjadi tempat terbaik bagi pertumbuhan iman dan karakternya.
Namun tetap saja, hari keberangkatan itu jadi saat yang paling menggetarkan hati. Ternyata, berat bukan cuma di anak. Justru orang tua yang lebih rawan limbung.
Ketika kami hendak membangunkan anak, hati ini seolah tak tega. Seperti hari eksekusi, memisahkan anak dari orang tua. Bahkan muncul kegalauan yang seakain membisiki: “Benarkah ini pilihan terbaik? Bukankah ia masih anak-anak? Masih ingin bermanja, masih ingin bermain bersama adiknya, masih ingin duduk di pangkuan kita sepulang sekolah.” Juga ada pikiran sekelebat: “Jangan-jangan ini bentuk kezaliman terselubung. Kita pisahkan anak dari kenyamanan dan kasih sayang rumah.” Astaghfirullah.
Tapi kami tahu, itu hanya getaran perasaan sesaat. Wajar. Karena orang tua mana yang tidak sayang anaknya? Orang tua mana yang tidak ingin selalu dekat, memeluknya saat tidur, menatapnya saat belajar, mendengarnya bercerita tentang hari-harinya?
Namun, justru karena sayang itulah kami berani mengambil langkah ini. Bukan karena menyerah, tetapi karena menyadari keterbatasan. Kami tidak bisa 24 jam menjaga anak dari paparan nilai yang tidak sepenuhnya baik. Kami tidak bisa terus mengawasi setiap konten yang masuk ke matanya, atau setiap omongan yang didengar telinganya dari lingkungan luar. Dunia terlalu luas, terlalu cepat, dan terlalu liar bagi anak-anak yang masih polos.
Pondok pesantren adalah ikhtiar kami. Bukan untuk menyerahkan tanggung jawab, tapi untuk menguatkan pondasi. Bukan untuk menjauh, tapi untuk mendekatkan ia pada Allah. Kami ingin anak kami punya akar iman yang dalam, agar kelak ketika ia tumbuh besar dan menghadapi hidup, ia tetap kokoh.
Tentu akan ada tangis di belakang pintu. Tentu akan ada ruang kosong di meja makan, di ruang keluarga, di shaf-shaf shalat berjamaah. Tapi semua itu bukan karena kehilangan, melainkan karena sedang menanam. InsyaAllah kami sedang menanam anak kami di tanah subur pesantren, agar ia tumbuh menjadi pohon yang kuat, rindang, dan bermanfaat.
Dan kami yakin, dalam setiap rindu dan perpisahan ini, Allah sedang menyiapkan kejutan-kejutan indah di masa depan. insyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar