Senin, 02 Juni 2025

Pemimpin: Penegak Aturan atau Pelayan Kebaikan?

Oleh: Triyanto M. Faraz

Dalam lingkup kecil seperti sekolah, organisasi, atau komunitas sosial, sosok pemimpin kerap kali menjadi penentu arah perjalanan sebuah kelompok. Namun, karakter kepemimpinan yang terbentuk di dalamnya tidak selalu sama. Ada pemimpin yang bangga ketika aturan ditegakkan dengan mutlak, dan ada pula yang berjuang agar setiap kebijakan membawa kenyamanan dan kemaslahatan bersama. Keduanya mungkin sama-sama merasa telah melakukan tugasnya dengan baik, namun perbedaannya terletak pada cara pandang terhadap manusia dan makna dari keberhasilan.

Ada tipe pemimpin yang menjadikan ketaatan sebagai parameter keberhasilan. Ketika semua anggota mengikuti aturan yang ia tetapkan, maka itu dianggap sebagai keberhasilan mutlak. Ia bangga melihat tidak ada yang keluar barisan, semua tertib, semua "tunduk." Namun, dalam diam, bisa jadi beberapa anggota hanya mematuhi karena takut, bukan karena setuju. Beberapa merasa tidak nyaman, bahkan sudah pernah menyampaikan kritik atau usulan perbaikan, namun dianggap membangkang atau tidak taat.

Cara pandang seperti ini bisa saja lahir dari niat baik: menjaga keteraturan, memastikan jalannya sistem. Tetapi ketika aturan menjadi lebih penting daripada orang-orang yang menjalankannya, maka kepemimpinan berubah dari seni mempengaruhi menjadi seni memaksa. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mematikan kreativitas, mengikis rasa memiliki, dan menciptakan iklim organisasi yang penuh tekanan.

Sebaliknya, ada tipe pemimpin yang menjadikan pelayanan sebagai napas kepemimpinannya. Ia tak mudah puas hanya karena semua berjalan "sesuai aturan." Ia mendengar, menimbang, dan membuka ruang bagi dialog. Ketika ada anggota yang merasa aturan kurang tepat, ia tidak tersinggung, justru bersyukur karena itu menjadi bahan evaluasi. Ia berupaya mencari jalan tengah yang tetap menjaga nilai inti, namun tidak memberatkan mereka yang harus menjalankan.

Pemimpin seperti ini tidak selalu mudah. Ia mungkin harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendengarkan, memikirkan ulang keputusan, bahkan merelakan sebagian kenyamanannya sendiri demi anggota. Namun kebanggaannya bukan pada ketaatan semu, melainkan pada kepuasan anggota yang merasa dihargai dan dilibatkan. Ia memahami bahwa aturan yang baik bukan hanya yang bisa ditegakkan, tapi juga yang bisa diterima dengan hati.

Dalam kehidupan organisasi atau komunitas, aturan memang penting. Tapi yang lebih penting adalah manusia yang menghidupinya. Kepemimpinan bukan sekadar soal menjaga disiplin, tapi juga tentang merawat hubungan. Bukan hanya tentang "berhasil menertibkan," tapi tentang berhasil membuat orang merasa aman, dihargai, dan berkembang bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kita Pernah Bersama, Kalian Tetap di Hati

(Refleksi Akhirusanah Angkatan 1 SDUA Pandak) Oleh: Triyanto, S.Pd. Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang telah memberi kekua...