Rabu, 17 Desember 2025

Gerakan Ayah Mengambil Rapor: Antara Harapan dan Realitas Kehidupan yang Beragam

 


Upaya menghadirkan peran ayah secara lebih aktif dalam pendidikan anak patut diapresiasi. Selama ini, keterlibatan pendidikan kerap dipersepsikan lebih dekat dengan peran ibu. Karena itu, gerakan ayah mengambil rapor ke sekolah dapat dipahami sebagai ikhtiar positif untuk menegaskan kembali bahwa ayah juga memiliki tanggung jawab moral dan emosional yang penting dalam tumbuh kembang anak.


Gerakan semacam ini membawa pesan keteladanan yang kuat. Kehadiran ayah di sekolah bukan sekadar urusan administratif, melainkan simbol perhatian, kepedulian, dan komitmen terhadap proses belajar anak. Dalam konteks ini, sekolah tentu menyambut baik setiap upaya yang mendorong keterlibatan orang tua secara lebih utuh.


Namun demikian, setiap kebijakan atau himbauan yang baik akan memiliki dampak yang lebih luas dan bermakna apabila disertai dengan kepekaan terhadap realitas keluarga yang beragam.


Di ruang-ruang kelas kita, ada anak yang pulang sekolah masih bisa menggenggam tangan ayahnya. Tetapi tidak sedikit pula yang sejak dini telah belajar tentang kehilangan. Anak yatim, atau anak yang ayahnya telah wafat, hidup dalam realitas yang tidak sama. Bagi mereka, narasi tentang “ayah mengambil rapor” bisa menyentuh ruang batin yang sangat personal jika tidak disampaikan dengan pendekatan yang tepat.


Karena itu, persoalan utamanya bukan pada niat gerakan ini—sebab niatnya jelas baik dan mulia—melainkan pada bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan dikomunikasikan di satuan pendidikan.


Sekolah berada pada posisi strategis sebagai perpanjangan tangan kebijakan, sekaligus sebagai ruang aman bagi seluruh peserta didik. Maka, penting bagi sekolah dan guru untuk menyertai setiap himbauan dengan narasi yang menenangkan dan inklusif. Tanpa itu, pesan yang sejatinya mendorong partisipasi justru berpotensi menimbulkan rasa berbeda, rasa kurang, atau beban psikologis bagi sebagian anak dan keluarga.


Pendidikan sejatinya adalah ruang yang memanusiakan. Setiap anak datang dengan latar belakang keluarga yang unik, dan semuanya layak dihargai secara setara. Maka, pesan yang perlu ditegaskan bersama adalah bahwa kehadiran ayah sangat dianjurkan dan bernilai, namun ketiadaan ayah bukanlah kekurangan anak, dan bukan pula penghalang bagi tumbuhnya prestasi dan karakter.


Ayah dan ibu adalah dua peran yang saling melengkapi. Jika ayah dapat hadir mengambil rapor, itu merupakan kebaikan yang patut diapresiasi. Jika ibu yang hadir, itu juga sepenuhnya baik. Jika yang datang adalah wali, kakek, nenek, atau pengasuh, maka itulah wujud tanggung jawab dan kasih sayang yang tak kalah mulia.


Dengan pendekatan demikian, gerakan ayah mengambil rapor akan lebih bermakna jika diposisikan sebagai ajakan yang inspiratif, bukan standar tunggal. Sebagai penguatan nilai, bukan tekanan. Sebagai pintu dialog antara sekolah dan keluarga, bukan sekadar kehadiran fisik atau dokumentasi kegiatan.


Pada akhirnya, ikhtiar terbaik bagi masa depan anak tidak semata ditentukan oleh siapa yang datang mengambil rapor, tetapi oleh siapa yang sungguh-sungguh peduli, mendampingi proses belajarnya, serta mendoakan dan menuntunnya dengan penuh kasih sayang.



Triyanto, S. Pd.

Wakil Kepala Sekolah SDUA Bantul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gerakan Ayah Mengambil Rapor: Antara Harapan dan Realitas Kehidupan yang Beragam

  Upaya menghadirkan peran ayah secara lebih aktif dalam pendidikan anak patut diapresiasi. Selama ini, keterlibatan pendidikan kerap dipers...