Kamis, 29 Mei 2025

Kapan Terakhir Kita Sholat Tahajjud?

Oleh: Triyanto S. Pd.

Kapan terakhir kita bangun di sepertiga malam terakhir, menyendiri dalam sujud, dan melafazkan doa dalam keheningan? Masihkah kita akrab dengan sholat tahajjud—sholat yang disebut sebagai sebaik-baik sholat setelah yang fardhu?

Mari kita jujur. Kapan terakhir kita melakukannya? Sepekan lalu? Sebulan lalu? Atau jangan-jangan, sudah begitu lama hingga kita lupa kapan terakhir kali melaksanakan sholat yang mulia ini? Jika iya, maka tulisan ini adalah ajakan lembut, pengingat penuh cinta—terutama untuk diri saya sendiri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Sebaik-baik sholat setelah sholat fardhu adalah sholat malam (tahajjud)."

(HR. Muslim no. 1163)

Sholat malam bukan sekadar tambahan amal. Ia adalah bukti cinta kepada Allah, tanda kerinduan, dan jembatan kedekatan antara hamba dengan Rabb-nya. Ia adalah amalan para shalihin terdahulu. Bahkan Allah memuji mereka dalam Al-Qur’an:

> "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)."

(QS. Adz-Dzariyat: 17–18)

Sungguh, tahajjud adalah amalan agung yang sering kali kita abaikan. Padahal, di dalamnya ada limpahan rahmat, ampunan, dan jawaban atas segala keluh kesah. Allah bahkan menyebutnya sebagai jalan menuju kedudukan terpuji:

> "Dan pada sebagian malam, lakukanlah sholat tahajjud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji."

(QS. Al-Isra’: 79)

Sebagai manusia yang sering merasa lelah, gelisah, dan penuh harap, kita sebenarnya sangat butuh sholat tahajjud. Bukan karena Allah butuh, tapi karena kitalah yang memerlukan waktu khusus untuk bermunajat dan memohon kekuatan dari-Nya.

Namun entah mengapa, sholat yang satu ini justru sering luput. Kita tertidur terlalu larut, atau terbangun tapi lebih memilih untuk kembali memeluk bantal daripada menengadah ke langit dalam doa. Padahal, di sepertiga malam terakhir, Allah turun ke langit dunia dan menyeru:

> "Adakah orang yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya? Adakah orang yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya? Adakah orang yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya?"

(HR. Bukhari dan Muslim)

Saudaraku, mari kita tanyakan sekali lagi: kapan terakhir kita sholat tahajjud? Dan kapan terakhir kita merindukannya?

Tulisan ini bukanlah ceramah dari orang yang sudah istiqamah, tetapi seruan dari seorang yang merindukan bangkitnya kembali semangat untuk melaksanakan tahajjud. Sebuah refleksi untuk saya pribadi yang sering alpa, sering beralasan, dan terlalu mudah tertidur di malam-malam yang seharusnya menjadi saat bermunajat.

Semoga Allah melembutkan hati kita, menguatkan tekad kita, dan membangunkan kita di waktu yang penuh berkah itu. Semoga kita termasuk dalam barisan hamba-hamba yang dirindukan oleh malam, karena kita bersujud di dalamnya. Aamiin.

Selasa, 27 Mei 2025

Refleksi Musibah Gempa Bantul 27 Mei 2006

 


Oleh: Triyanto, S.Pd.

Sabtu pagi, 27 Mei 2006, menjadi salah satu pagi paling mencekam yang pernah saya alami. Tanpa tanda-tanda, bumi Bantul berguncang hebat selama kurang dari satu menit namun kehancurannya begitu luar biasa. Rumah-rumah roboh bagai kartu domino, sekolah, balai, pasar bahkan masjid pun rusak berat, jalan-jalan retak, dan listrik padam total. Kampung berubah menjadi puing-puing dan debu.

Saya masih ingat dengan jelas suasana pagi itu, teriakan minta tolong, tangis anak-anak, dan kepanikan luar biasa. Di antara reruntuhan, tampak tubuh-tubuh terjepit balok, ada yang tertimpa dinding, bahkan tak sedikit yang berlumuran darah. Beberapa orang tergopoh-gopoh membawa kerabatnya yang terluka, berusaha mencari pertolongan di tengah kondisi yang kacau. Banyak yang shock, berdiri kebingungan tanpa tahu harus ke mana. Komunikasi terputus, dan rasa takut melumpuhkan segalanya.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ribuan jiwa melayang pada hari itu. Kita doakan semoga mereka wafat dalam husnul khatimah, dicatat sebagai syuhada, dan mendapat tempat mulia di sisi Allah. Bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga terus diberikan kekuatan dan kesabaran.

Bagi saya pribadi, selamat dari kejadian itu serasa diberi kesempatan hidup kedua. Saat melihat bangunan rata dengan tanah dan banyak nyawa terenggut, saya sadar betapa kecil dan lemahnya kita sebagai manusia. Seandainya Allah berkehendak lain, saya pun bisa termasuk di antara yang tak selamat. Maka hidup setelah itu bukan lagi sekadar rutinitas, tapi seharusnya menjadi perjalanan penuh makna lebih bersyukur, lebih serius beribadah, dan lebih sungguh-sungguh dalam memberi manfaat kepada sesama.

Musibah besar ini menyadarkan kita bahwa dunia ini tidak stabil. Apa yang selama ini kita anggap kokoh ternyata bisa lenyap dalam hitungan detik. Maka jangan sampai kita terlena dengan kenikmatan dunia. Gunakan sisa usia untuk amal terbaik. Bangun hubungan yang lebih kuat dengan Allah, lebih peduli kepada sesama, dan lebih bijak memaknai hidup.

Jika hari ini kita masih bisa membaca tulisan ini, masih bisa bernapas dan melangkah, itu adalah karunia tak terhingga. Jangan sia-siakan kesempatan hidup ini. Karena tak ada yang tahu kapan waktunya kita akan diguncang lagi oleh gempa, oleh musibah, atau oleh kematian. Tentu atas kehendak-Nya.

Senin, 19 Mei 2025

Wakil Bupati Bantul Tinjau Pelaksanaan ASPD di SD Unggulan Aisyiyah Bantul

 

BANTUL – Wakil Bupati Bantul, Bapak Aris Suharyanta, S.Sos.MM. melakukan kunjungan monitoring pelaksanaan Asesmen Standardisasi Pendidikan Daerah (ASPD) di SD Unggulan Aisyiyah (SDUA) Bantul pada Senin, 19 Mei 2025.

Dalam kunjungan tersebut, Wabup didampingi oleh Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Bantul, Bapak Nugroho Eko Setyanto, S.Sos.MM. Turut hadir Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Bantul Hj. Farida Ulfah Ma’rifah, Kepala Korwil Bantul Hj. Tutik Saptiningsih, M.Pd. serta perwakilan dari Majelis Dikdasmen PDM Bantul; Bapak Dr. Dedi Pramono, M.Hum., Dr. Padrul Jana, S.Pd., M.Sc. dan Dr. Giri Wiyono. M.Pd. juga unsur BPH SDU ibu Mamik Mardyastuti, SE. 

Rombongan disambut langsung oleh Kepala SDUA Bantul, Bapak Suwardi, M.Pd., beserta jajaran guru dan karyawan. Dalam sambutannya, Wakil Bupati mengapresiasi kesiapan SDUA Bantul dalam menyelenggarakan ASPD. Beliau berharap pelaksanaan asesmen berlangsung lancar hingga hari terakhir, dan para siswa dapat meraih hasil terbaik.

Secara pribadi, Wabup juga menyampaikan testimoni positif terhadap mutu pendidikan di SDUA. Putra pertamanya merupakan alumni SDUA dan kini tengah menempuh pendidikan tinggi, sementara putra keduanya juga saat ini duduk di kelas 6 SDUA Bantul dan menjadi salah satu peserta ASPD. 

Kepala Dinas Dikpora Bantul, Bapak Nugroho, menambahkan apresiasi kepada seluruh sekolah yang telah mempersiapkan ASPD dengan sungguh-sungguh. Ia menekankan capaian ASPD menjadi salah satu tolok ukur penting untuk mengetahui kualitas pendidikan dan berharap terus ada peningkatan. 

Usai sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah yang berlangsung hangat dan penuh keakraban. Acara kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Triyanto, S.Pd., Kepala Urusan Keislaman SDUA Bantul.

Sebelum meninggalkan lokasi, Wabup dan segenap tamu menyempatkan diri menyapa langsung para siswa yang akan mengikuti ujian. Dengan penuh semangat, beliau memberikan motivasi singkat agar anak-anak tetap percaya diri, tenang, dan mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh.

Kunjungan diakhiri dengan sesi foto bersama; Wakil Bupati, para pejabat tamu, pimpinan sekolah, dan perwakilan guru. Momen ini menjadi simbol dukungan bersama terhadap suksesnya pelaksanaan ASPD dan komitmen membangun pendidikan unggul di Kabupaten Bantul.



Minggu, 18 Mei 2025

ASPD dan Ikhtiar Pendidikan yang Bermakna

Oleh: Triyanto, S.Pd.

Setiap akhir tahun pelajaran, siswa kelas 6 Sekolah Dasar dihadapkan pada momen penting: Asesmen Standar Pendidikan Daerah (ASPD). Di SD Unggulan Aisyiyah Bantul, momen ini bukan sekadar ajang mengejar angka atau peringkat. Lebih dari itu, ASPD kami maknai sebagai bagian dari proses pendidikan yang utuh—yang menyentuh akal, hati, dan jiwa.

Anak-anak kelas 6 telah menapaki fase belajar yang panjang. Mereka bersungguh-sungguh mempersiapkan diri. Tambahan jam belajar, latihan soal, dan pendampingan intensif dari para guru adalah bentuk ikhtiar optimal yang dilakukan bersama. Namun, di balik semua itu, ada nilai-nilai yang jauh lebih penting dari sekadar capaian kognitif: kegigihan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesungguhan dalam menuntut ilmu—yang merupakan kewajiban setiap Muslim.

Pendidikan karakter tetap menjadi fondasi utama. Kami terus menanamkan bahwa hasil adalah urusan Allah, tugas kita adalah berusaha sebaik-baiknya. Anak-anak dibimbing untuk mengerjakan ujian dengan jujur, tanpa menempuh jalan pintas. Mereka diajak untuk memaknai setiap proses belajar sebagai jalan menuju masa depan yang lebih baik, bukan sekadar menuntaskan kewajiban.

Di balik usaha anak-anak, ada doa yang tak pernah putus dari orang tua, para guru, dan seluruh elemen sekolah. Dukungan moral dan spiritual inilah yang menjadi energi tambahan dalam ikhtiar bersama ini. Kami percaya bahwa keberhasilan bukan hanya hasil dari latihan dan belajar keras, tetapi juga buah dari doa yang tulus dan harapan yang terus dipanjatkan.

Selamat menempuh ASPD, anak-anak hebat! In sya Allah, hasil tidak akan mengkhianati proses. Tetap tenang, jujur, dan percaya diri. Semoga Allah SWT membalas setiap tetes usaha, doa, dan pengorbanan dengan hasil terbaik yang membawa berkah dan kebaikan di masa depan. Aamiin.

Sabtu, 17 Mei 2025

Ruang Digital, Wajah Kita?

Oleh: Triyanto M. Faraz

Dulu, kita bangga menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya timur—ramah, santun, dan menjunjung tinggi tata krama dalam bertutur maupun bertindak. Tapi hari ini, pemandangan di media sosial justru memperlihatkan wajah yang sangat berbeda: komentar penuh caci maki, umpatan tak beretika, serta penghinaan yang dilontarkan dengan ringan, seolah tak berdosa.

Ironi ini makin nyata ketika berbagai penelitian internasional menyebut bahwa masyarakat Indonesia tergolong yang paling "barbar" dalam bermedia sosial. Sungguh menyedihkan. Negeri yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan sopan santun kini tampak kehilangan adab di ruang digital.

Bagi sahabat yang membaca tulisan ini dan merasa belum pernah menjumpai kondisi seperti itu, bersyukurlah. Itu pertanda Anda termasuk yang terjaga dari keburukan digital, atau berada dalam lingkaran pertemanan yang sehat. Namun, jika ingin melihat sendiri bagaimana kondisi yang saya maksud, cobalah buka kolom komentar pada berita-berita politik, atau unggahan akun-akun tokoh publik. Bukan isi postingannya yang jadi soal, tapi komentar netizen di bawahnya—penuh hujatan, saling tuduh, makian, dan hinaan yang tak lagi mengindahkan norma atau sopan santun.

Apakah ini wajah baru bangsa kita? Ataukah sejak lama memang ada tabiat seperti ini yang tersembunyi, dan kini menemukan pelampiasannya di media sosial? Sebagian pihak bahkan melihat bahwa budaya debat ala buzzer politik—yang dibentuk dengan framing, narasi fitnah, dan serangan personal—telah merusak cara berpikir dan berkomunikasi publik kita. Awalnya hanya di lingkaran politik, tapi lama-kelamaan menjadi gaya debat umum yang brutal dan melampaui batas keadaban.

Tentu tidak semua warga dunia maya seperti itu. Masih banyak yang menjaga tutur kata, menyampaikan kritik dengan santun, dan memilih diam daripada menghina. Tapi suara-suara bising dan penuh kebencian seolah lebih dominan dan mencemari ruang bersama kita.

Inilah krisis akhlaq komunikasi yang sedang kita hadapi. Bukan sekadar soal etika digital, tapi persoalan mendasar tentang siapa kita sebagai bangsa. Jika ruang digital terus dibiarkan tanpa upaya perbaikan akhlaq, maka yang rusak bukan hanya interaksi online, tapi juga karakter masyarakat secara luas.

Apakah kita akan tetap membiarkan kebencian menjadi bahasa baru di era digital ini? Atau kita mulai membangun kembali ruang percakapan yang beradab—karena dari sanalah masa depan bangsa yang sehat bisa dimulai?

Selasa, 13 Mei 2025

Tantangan Sekolah di Era Teknologi Canggih: Bukan Sekadar Tempat Mencari Ilmu

Oleh: Triyanto M. Faraz

Di era teknologi yang semakin canggih, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Informasi dan pengetahuan kini tersedia begitu melimpah dan mudah diakses. Cukup dengan mengetik pertanyaan di platform seperti Google, ChatGPT, atau Meta AI, siswa bisa mendapatkan jawaban yang cepat, ringkas, dan kadang lebih menarik dari penjelasan di ruang kelas. Hal ini memunculkan kekhawatiran: apakah peran guru akan tergantikan? Apakah sekolah akan kehilangan relevansinya?

Jika sekolah hanya berfungsi sebagai tempat menuangkan ilmu, maka benar—ia akan ketinggalan zaman. Teknologi bisa melakukannya dengan lebih cepat dan fleksibel. Namun, di sinilah justru momentum untuk mendefinisikan ulang makna sekolah.

Sekolah harus menjadi lebih dari sekadar tempat belajar akademik. Ia harus menjadi ekosistem sosial, tempat siswa belajar tentang nilai, karakter, kerja sama, empati, dan tanggung jawab. Di sekolah, anak-anak bertumbuh dalam interaksi nyata, mengalami dinamika kehidupan sosial yang tidak bisa diajarkan oleh algoritma.

Lebih dari itu, sekolah adalah media untuk menanamkan nilai iman dan takwa. Ini bukan sekadar pelajaran agama di jam tertentu, melainkan kultur yang dibangun sehari-hari: dari pembiasaan ibadah, adab berbicara, kedisiplinan, hingga sikap hormat terhadap guru dan teman. Di sinilah letak kekuatan yang tak bisa digantikan oleh teknologi secanggih apa pun.

Untuk tetap eksis dan dibutuhkan, sekolah juga harus berani berinovasi. Metode belajar perlu disesuaikan dengan zaman. Pembelajaran berbasis proyek, kolaborasi digital, integrasi teknologi dalam proses pembelajaran, dan ruang-ruang kreatif untuk eksplorasi minat siswa menjadi keharusan. Sekolah yang stagnan akan tertinggal, tetapi sekolah yang adaptif dan kreatif akan menjadi tempat yang dirindukan.

Era teknologi bukan ancaman, melainkan peluang bagi sekolah untuk menemukan jati dirinya yang lebih dalam. Sekolah bukan hanya tempat mencari ilmu, tetapi tempat anak-anak mencari jati diri, menguatkan iman, dan menemukan inspirasi hidup. Dan selama nilai-nilai itu dijaga dan diperkuat, sekolah akan selalu punya tempat penting dalam peradaban. Tak terkecuali bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah termasuk SD Unggulan Aisyiyah Bantul.

Berfikir Mandiri, Menulis Bersama AI

Oleh: Triyanto M. Faraz

Dalam dunia kepenulisan hari ini, teknologi telah menjadi teman setia. Saya pribadi, dalam proses menulis, tidak selalu menuangkan gagasan secara manual dari awal hingga akhir. Sering kali, saya memanfaatkan bantuan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), untuk menyusun, merapikan, atau mempercepat proses penyajian tulisan.

Namun penting untuk saya tegaskan: gagasan, arah, dan isi dari tulisan yang saya publikasikan tetap merupakan buah pikiran saya. AI hanyalah alat bantu, bukan sumber ide. Ia bekerja sesuai instruksi yang saya berikan, bukan berpikir menggantikan saya.

Setiap tulisan yang saya hasilkan tetap saya tinjau dan sesuaikan agar selaras dengan nilai, sudut pandang, dan tanggung jawab pribadi saya sebagai penulis. Maka, jika ada kekeliruan dalam materi atau penafsiran, saya tidak menyalahkan teknologi—saya bertanggung jawab penuh atasnya.

Di tengah berkembangnya teknologi, mari kita manfaatkan alat bantu secara bijak, tanpa kehilangan jati diri sebagai penulis yang berpikir dan bertanggung jawab atas kata-katanya.

Senin, 12 Mei 2025

Pemberitahuan: Penggunaan Nama Pena “Triyanto M. Faraz”

Bismillahirrahmanirrahim.. 

Dengan ini saya sampaikan bahwa mulai bulan Mei 2025, saya akan sering menggunakan nama pena: Triyanto M. Faraz dalam berbagai karya tulis, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun konten digital.

Nama pena ini merujuk pada pribadi yang sama dengan Triyanto, S.Pd., yaitu saya sendiri, seorang guru swasta yang tinggal di Bantul, D.I. Yogyakarta. Pemilihan nama pena ini bertujuan untuk memberikan ciri khas dalam karya-karya yang saya tulis, tanpa mengubah atau menyamarkan identitas asli.

Bagi pembaca, penerbit, atau pihak mana pun yang menjumpai nama Triyanto M. Faraz dalam suatu karya, dapat memahami bahwa itu adalah nama pena dari saya, Triyanto, S.Pd.

Semoga informasi ini bermanfaat dan dapat menjadi referensi resmi dalam pelacakan karya, pengutipan, maupun komunikasi profesional.


Hormat saya,

Triyanto, S.Pd.

(Nama pena: Triyanto M. Faraz)

Sabtu, 10 Mei 2025

LPCR PDM Bantul Gelar Forum Silaturahmi PCM se-Kabupaten Bantul


Perkuat Sinergi dan Komitmen Penguatan Cabang-Ranting

Bantul – Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bantul menyelenggarakan forum silaturahmi bagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Kabupaten Bantul pada Sabtu, 10 Mei 2025. Acara yang penuh kehangatan ini digelar di Rumah Makan Brongkos Badrun, Piyungan, dengan PCM Piyungan sebagai tuan rumah.

Sebanyak 20 cabang hadir dalam forum ini, masing-masing diwakili oleh ketua dan sekretaris PCM. Turut hadir pula dalam kegiatan ini Sekretaris PDM Bantul, Bapak Aris Samsugito, S.Ag., serta Wakil Ketua PDM yang membidangi LPCR, H. Sumarna, M.Pd.

Dalam sambutannya, Bapak Waston Nurhadi selaku ketua PCM Piyungan, menyampaikan rasa syukur dan kehormatan atas kepercayaan yang diberikan untuk menjadi tuan rumah forum silaturahmi ini. Ia berharap kegiatan ini membawa manfaat besar bagi perkembangan gerakan Muhammadiyah di tingkat cabang dan ranting.

Acara dibuka oleh Ketua LPCR PDM Bantul, Bapak Harimawan, S.Pd.T, M.Si., yang dalam pengantarnya menegaskan pentingnya forum silaturahmi sebagai ajang berbagi informasi, memperkuat ukhuwah, dan menyamakan langkah dalam membina dan mengembangkan cabang dan ranting di wilayah Bantul.

Forum ini membahas sejumlah agenda strategis, di antaranya penguatan cabang dan ranting Muhammadiyah, pengelolaan masjid-masjid Muhammadiyah secara terpadu dan profesional, serta program pembuatan Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah (KTAM) terbaru.

Kegiatan ini menjadi momentum penting bagi seluruh PCM untuk memperkuat koordinasi dan mempercepat gerak dakwah Muhammadiyah yang berkemajuan, menyatu dalam semangat kolaborasi dan kebersamaan antarstruktur persyarikatan di Kabupaten Bantul.




Selasa, 06 Mei 2025

Almira Adzakia Ahmad, Raih Juara 1 Lomba Menulis Cerita FLS3N Kapanewon Bantul

Bantul — Alhamdulillah, kabar membanggakan datang dari SDUA Bantul dalam ajang Festival Lomba Seni & Sastra Siswa Nasional (FLS3N) tingkat Kapanewon Bantul yang digelar pada Selasa, 6 Mei 2025 di SD Negeri 1 Palbapang. Almira Adzakia Ahmad, salah satu siswa terbaik kami, berhasil meraih Juara 1 dalam Lomba Menulis Cerita Fiksi, mengungguli sekitar 25 peserta dari berbagai SD di wilayah Kapanewon Bantul.

Lomba ini mensyaratkan penulisan cerita fiksi secara langsung di laptop dengan jumlah minimal 500 kata—sebuah tantangan yang cukup berat bagi siswa SD. Namun Almira membuktikan bahwa dengan ketekunan dan kepercayaan diri, tantangan itu bisa ditaklukkan. Ia mampu menyelesaikan tulisannya dengan baik, dan yang lebih membanggakan lagi, dinilai sebagai yang terbaik.

Sebagai pembimbing lomba, saya pribadi merasa sangat bersyukur dan bangga atas capaian ini. Dengan waktu persiapan yang sangat singkat, Almira bisa menunjukkan kemampuannya dengan semangat belajar yang luar biasa. Prestasi ini adalah buah dari kerja keras, latihan, dan keteguhan hati.

Selain dari cabang menulis cerita, SDUA Bantul juga meraih prestasi gemilang di cabang seni lainnya, yaitu Juara 1 Pantomim (Haura dan Putri), Juara 3 Mendongeng (Ondin), dan Juara 3 Kriya (Luthfi). Ini menjadi bukti nyata bahwa siswa-siswi SDUA tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kaya kreativitas dan bakat seni.


Semoga pencapaian ini menjadi inspirasi bagi siswa-siswi lain untuk terus berkarya dan berprestasi. Mari kita terus dukung generasi hebat ini untuk melangkah lebih jauh!


Triyanto, S.Pd.

Guru Pembimbing

Sabtu, 03 Mei 2025

Terhasut Framing, Terhapus Akal Sehat


Di zaman derasnya informasi seperti sekarang, sungguh menyedihkan melihat betapa mudahnya banyak orang terhasut oleh framing media. Hanya bermodal potongan video, headline tendensius, atau narasi yang dibumbui emosi, seseorang yang jelas-jelas punya rekam jejak baik, tiba-tiba bisa dicap buruk, sesat, bahkan dicemooh tanpa ampun.

Ironisnya, sebagian besar dari mereka yang memberi penilaian itu bahkan tidak pernah kenal langsung dengan sosok yang mereka hakimi. Tak pernah duduk bersama, berbicara langsung, apalagi memahami kiprahnya secara utuh. Mereka hanya menyusun persepsi dari potongan-potongan informasi yang sudah digiring sedemikian rupa oleh media yang tak jujur. Keadilan pun dikubur hidup-hidup oleh kecepatan jari dan emosi sesaat.

Di tengah gelombang penghakiman publik yang tidak adil itu, berdirilah orang-orang tangguh yang menjadi korban framing. Mereka tetap tegar, tidak membalas, tidak merendahkan, dan tetap menunaikan kebaikan seolah tak terjadi apa-apa. Inilah manusia-manusia luar biasa yang hatinya dijaga Allah. Mereka bukan hanya sabar, tapi juga sabar yang aktif: tidak terjebak dalam balas dendam, tetap menjaga akhlaq, dan menyerahkan urusannya kepada Yang Maha Adil.

Mungkin benar, inilah salah satu makna dari sabar yang pantas mengantarkan seseorang ke surga. Bukan sekadar sabar dalam sakit atau musibah, tapi sabar dalam fitnah. Sabar saat dituduh hal yang tidak pernah dilakukan. Sabar saat dihina oleh mereka yang tidak kenal siapa kita sebenarnya. Dan sabar yang seperti inilah, yang Rasulullah saw sabdakan:

"الصَّبْرُ ضِيَاءٌ" — Sabar itu cahaya. (HR. Muslim)

Sebuah cahaya yang menuntun jiwa tetap bersinar meski dunia gelap oleh fitnah.

Jumat, 02 Mei 2025

Hardiknas 2025: Saatnya Pendidikan yang Meneguhkan dan Mencerahkan

Oleh: Triyanto, S.Pd.

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai momentum reflektif untuk menakar kembali arah perjalanan pendidikan kita. Tahun demi tahun, kurikulum berganti, metode pembelajaran diperbarui, teknologi merambah ruang kelas. Namun, ada satu hal yang tak boleh dilupakan dan justru harus terus ditegaskan: bahwa tujuan akhir pendidikan sejatinya adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.

Dalam konteks zaman yang semakin menipiskan batas antara benar dan salah, gempuran budaya instan, dan derasnya arus informasi yang tak terseleksi, peserta didik membutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan. Mereka butuh akar yang kuat—yakni iman dan taqwa yang otentik dan membumi. Bukan sekadar hafalan doktrin keagamaan, tetapi iman yang hidup dalam keseharian, yang menjadi cahaya dalam gelapnya kebingungan moral zaman.

Iman yang otentik bukanlah sekadar simbol, melainkan keyakinan yang bersemayam dalam hati, diucapkan dalam lisan, dan dibuktikan dalam perbuatan. Ia tampak dalam kejujuran seorang siswa meski tak diawasi, dalam empati kepada teman, dalam adab saat berpendapat, dan dalam keteguhan menolak ajakan negatif walau dilakukan banyak orang. Inilah yang disebut taqwa yang mengejawantah dalam karakter—kokoh, tak tergoyahkan oleh tipu daya zaman.

Pendidikan yang mencerahkan adalah pendidikan yang tak hanya menanamkan logika berpikir, tapi juga nurani yang bening. Dalam kerangka inilah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menjadi ladang subur bagi tumbuhnya iman dan akhlaq mulia. Guru bukan sekadar pengajar, tapi juga teladan. Kurikulum bukan hanya alat ukur capaian kognitif, tapi juga peta jalan pembentukan kepribadian.

Di era digital ini, anak-anak kita menghadapi ujian yang tak kasat mata: banjir informasi, gaya hidup hedonistik, normalisasi perilaku amoral, dan disorientasi nilai. Maka bentengnya bukan hanya firewall digital, tapi juga keimanan yang kokoh, yang membuat mereka tahu kapan harus berkata "tidak" sekalipun semua berkata "ya". Mereka tak silau oleh popularitas, tak rapuh oleh tekanan sosial, karena telah memiliki pegangan hidup yang benar.

Mari menjadikan Hardiknas 2025 sebagai momentum memperkuat visi pendidikan nasional yang tak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga unggul secara spiritual dan moral. Karena masa depan Indonesia bukan hanya soal teknologi dan ekonomi, tetapi tentang siapa manusia-manusia yang akan mengelolanya.

Pendidikan yang sejati adalah yang mampu menumbuhkan manusia yang bertuhan, beradab, dan membangun peradaban. Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Kita Pernah Bersama, Kalian Tetap di Hati

(Refleksi Akhirusanah Angkatan 1 SDUA Pandak) Oleh: Triyanto, S.Pd. Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang telah memberi kekua...