Oleh: Triyanto, S. Pd.
Setiap peringatan Hari Guru selalu membawa kita pada dua perasaan yang saling menguatkan: rasa bangga dan rasa perlu berbenah. Bangga, karena menjadi guru adalah jalan mulia yang tidak diberikan kepada semua orang. Dan perlu berbenah, karena amanah yang kita sandang tidak akan pernah lepas dari ujian, terutama di zaman ketika integritas mudah diuji oleh tekanan, tuntutan, dan godaan zaman.
Sebagai guru—terlebih di lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah—kita selalu diingatkan oleh sabda Nabi ﷺ tentang tiga amal jariyah yang tidak terputus meski seorang hamba wafat. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Di sinilah letak keistimewaan profesi ini: setiap huruf yang kita ajarkan, setiap kebiasaan baik yang kita tanamkan, setiap karakter mulia yang kita dampingi tumbuh—semua itu bukan sekadar pekerjaan, tetapi peluang emas menuju keberkahan dan kemuliaan akhirat.
Namun, menjadi guru hari ini tidak cukup hanya bersemangat mengajar. Integritas kita diuji hampir setiap hari. Di era digital yang serba cepat, guru bukan hanya dinilai dari kecerdasan akademik atau kemampuan mengajar, tetapi dari keteladanan dalam perilaku, ucapan, dan jejak digital yang kita tinggalkan. Guru, disadari atau tidak, selalu diamati: oleh murid, orang tua, masyarakat, bahkan oleh sistem yang terus berkembang. Kadang beban ini terasa berat—tetapi justru di situlah kemuliaan profesi ini diuji.
Hari Guru bukan hanya momen menerima ucapan “terima kasih”. Lebih dari itu, ia adalah ruang tafakur: sejauh mana kita menjaga nama baik profesi ini? Sejauh mana kita menjaga adab, kesopanan, dan kepantasan sebagai pendidik? Sejauh mana kita memastikan bahwa murid-murid kita mendapatkan bukan hanya ilmu, tetapi juga keteladanan?
Jangan sampai kita hanya bangga menyebut profesi guru sebagai ladang amal jariyah, tetapi lupa bahwa ladang itu hanya subur bila dijaga dari hama: ketidakjujuran, kemalasan, sikap tidak peduli, atau ketidaktertiban. Integritas bukan sekadar slogan, tetapi napas panjang yang harus kita hidupi setiap hari—sekalipun tidak ada yang melihat.
Hari Guru adalah pengingat bahwa menjadi guru bukan profesi biasa. Ia adalah amanah panjang yang menuntut kesungguhan. Ia adalah kebanggaan yang harus dirawat dengan kedisiplinan dan akhlak. Ia adalah peluang menuju kemuliaan, tetapi juga medan evaluasi atas komitmen kita pada nilai-nilai Islam, nilai-nilai pendidikan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Maka mari melangkah dengan dua sikap sekaligus: bangga, karena kita diberi kesempatan memanen pahala tanpa batas. Dan waspada, agar kemuliaan itu tidak tergerus oleh kelalaian kita sendiri.
Selamat Hari Guru. Semoga Allah menunjuki kita untuk terus menjaga integritas, merawat niat ikhlas, dan meneguhkan langkah sebagai pendidik yang benar-benar membawa manfaat bagi umat.
✒️
_Penulis adalah Guru SD Unggulan Aisyiyah Bantul dan Ketua Komunitas Belajar Guru Kelas 3 Kapanewon Bantul_






























