Senin, 24 November 2025

Refleksi Hari Guru: Menjaga Kemuliaan, Mengukuhkan Integritas

Oleh: Triyanto, S. Pd.


Setiap peringatan Hari Guru selalu membawa kita pada dua perasaan yang saling menguatkan: rasa bangga dan rasa perlu berbenah. Bangga, karena menjadi guru adalah jalan mulia yang tidak diberikan kepada semua orang. Dan perlu berbenah, karena amanah yang kita sandang tidak akan pernah lepas dari ujian, terutama di zaman ketika integritas mudah diuji oleh tekanan, tuntutan, dan godaan zaman.

Sebagai guru—terlebih di lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah—kita selalu diingatkan oleh sabda Nabi ﷺ tentang tiga amal jariyah yang tidak terputus meski seorang hamba wafat. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Di sinilah letak keistimewaan profesi ini: setiap huruf yang kita ajarkan, setiap kebiasaan baik yang kita tanamkan, setiap karakter mulia yang kita dampingi tumbuh—semua itu bukan sekadar pekerjaan, tetapi peluang emas menuju keberkahan dan kemuliaan akhirat.

Namun, menjadi guru hari ini tidak cukup hanya bersemangat mengajar. Integritas kita diuji hampir setiap hari. Di era digital yang serba cepat, guru bukan hanya dinilai dari kecerdasan akademik atau kemampuan mengajar, tetapi dari keteladanan dalam perilaku, ucapan, dan jejak digital yang kita tinggalkan. Guru, disadari atau tidak, selalu diamati: oleh murid, orang tua, masyarakat, bahkan oleh sistem yang terus berkembang. Kadang beban ini terasa berat—tetapi justru di situlah kemuliaan profesi ini diuji.

Hari Guru bukan hanya momen menerima ucapan “terima kasih”. Lebih dari itu, ia adalah ruang tafakur: sejauh mana kita menjaga nama baik profesi ini? Sejauh mana kita menjaga adab, kesopanan, dan kepantasan sebagai pendidik? Sejauh mana kita memastikan bahwa murid-murid kita mendapatkan bukan hanya ilmu, tetapi juga keteladanan?

Jangan sampai kita hanya bangga menyebut profesi guru sebagai ladang amal jariyah, tetapi lupa bahwa ladang itu hanya subur bila dijaga dari hama: ketidakjujuran, kemalasan, sikap tidak peduli, atau ketidaktertiban. Integritas bukan sekadar slogan, tetapi napas panjang yang harus kita hidupi setiap hari—sekalipun tidak ada yang melihat.

Hari Guru adalah pengingat bahwa menjadi guru bukan profesi biasa. Ia adalah amanah panjang yang menuntut kesungguhan. Ia adalah kebanggaan yang harus dirawat dengan kedisiplinan dan akhlak. Ia adalah peluang menuju kemuliaan, tetapi juga medan evaluasi atas komitmen kita pada nilai-nilai Islam, nilai-nilai pendidikan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Maka mari melangkah dengan dua sikap sekaligus: bangga, karena kita diberi kesempatan memanen pahala tanpa batas. Dan waspada, agar kemuliaan itu tidak tergerus oleh kelalaian kita sendiri.

Selamat Hari Guru. Semoga Allah menunjuki kita untuk terus menjaga integritas, merawat niat ikhlas, dan meneguhkan langkah sebagai pendidik yang benar-benar membawa manfaat bagi umat.


✒️

_Penulis adalah Guru SD Unggulan Aisyiyah Bantul dan Ketua Komunitas Belajar Guru Kelas 3 Kapanewon Bantul_

Selasa, 18 November 2025

Menjadi Guru Muhammadiyah Hari Ini: Antara Amanah, Kesadaran, dan Harapan

Refleksi Milad Muhammadiyah ke-113


Hari ini, bertepatan dengan Milad Muhammadiyah ke-113, kita diajak kembali merenungkan satu hal mendasar: sudahkah kita mendidik sebagaimana yang dicita-citakan Kiai Ahmad Dahlan? Pertanyaan ini sederhana, tetapi mampu menyentak kesadaran kita. Sebab menjadi guru atau pegawai di Amal Usaha Muhammadiyah bukan sekadar menjalankan rutinitas. Kita sedang memikul amanah dakwah dan peradaban.


Setiap pagi ketika memasuki kelas atau ruang kerja, sejatinya kita sedang menapaki jejak panjang perjuangan. Di depan kita ada peserta didik dan masyarakat yang Allah titipkan. Tugas kita lebih dari sekadar menyampaikan materi atau menyelesaikan pekerjaan administratif. Kita ditugasi membentuk akhlaq, menanamkan nilai Islami yang berkemajuan, serta menghadirkan keteladanan yang hidup. Di situlah letak istimewanya: pekerjaan kita adalah ibadah, dan ibadah kita adalah pelayanan.


Kita belajar dari teladan Kiai Ahmad Dahlan yang mengajar dengan ketulusan luar biasa di serambi rumah kecil Kauman. Tidak ada fasilitas modern, tidak ada sorotan publik, tetapi ada keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Hari ini kita bekerja di lingkungan yang jauh lebih lengkap—kelas yang nyaman, teknologi yang mendukung, organisasi yang mapan—namun tantangannya tetap sama: mampukah kita menjaga ketulusan itu?


Milad Muhammadiyah mengingatkan bahwa gerakan ini berdiri bukan karena banyaknya seremonial, tetapi karena kokohnya kerja-kerja sunyi para pendidik dan pegiat amal usaha. Guru-guru yang sabar menuntun huruf demi huruf, ustaz-ustazah yang memperbaiki wudu anak-anak, tenaga administrasi yang menjaga keteraturan, pimpinan yang merawat marwah lembaga—semuanya adalah penerus cahaya perjuangan Kiai Dahlan.


Di tengah dunia yang semakin bising, penuh distraksi digital, dan tantangan moral yang kian kompleks, kita dituntut hadir bukan hanya sebagai tenaga profesional, tetapi juga sebagai figur teladan. Kita perlu menjadi pribadi yang sabar, jujur, disiplin, dan menyemai kasih dalam setiap interaksi. Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia dalam sekejap, tetapi kita bisa menghadirkan ketenangan dan nilai dalam ruang-ruang yang kita layani setiap hari.


Pada akhirnya, Milad ke-113 ini adalah ajakan untuk menata niat, memperbaiki langkah, dan merapatkan barisan. Kita mungkin lelah, mungkin merasa belum sempurna, tetapi selama kita terus menjaga ruh ikhlas dan komitmen, kita telah menjadi bagian penting dari mata rantai dakwah Muhammadiyah. Dari sekolah-sekolah, klinik, panti asuhan, kantor layanan, hingga ruang-ruang kecil pekerjaan kita, ada cahaya yang terus tumbuh.


Selamat Milad Muhammadiyah ke-113. Semoga Allah menjaga keteguhan kita dalam mengabdi. Semoga setiap langkah kecil yang kita lakukan hari ini menjadi bagian dari terang besar yang menerangi masa depan umat dan bangsa. Mari melanjutkan jejak Kiai Dahlan dengan kerja nyata, hati yang bersih, dan barisan yang rapi. 


Triyanto, S. Pd.

Wakil Kepala Sekolah SDUA Bantul

Senin, 10 November 2025

Meneladani Semangat Pahlawan

 


Oleh: Triyanto, S. Pd.


Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai momentum mengenang perjuangan para pejuang kemerdekaan yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi tanah air. Namun, peringatan ini seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan nostalgia belaka. Ia harus menjadi cermin bagi kita untuk merefleksikan makna kepahlawanan dalam kehidupan masa kini, terutama dalam bingkai spiritualitas dan keimanan.


Di medan pertempuran Surabaya tahun 1945, kita menyaksikan keberanian luar biasa dari para pemuda yang tak gentar menghadapi kekuatan kolonial. Mereka bukan hanya berjuang dengan senjata, tetapi juga dengan keyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diperjuangkan, bahkan jika harus dibayar dengan nyawa. Dalam konteks religius, pengorbanan mereka mencerminkan nilai-nilai keikhlasan dan jihad fi sabilillah—berjuang di jalan kebenaran demi kemaslahatan umat.


Pahlawan sejati bukan hanya mereka yang gugur di medan perang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun bisa menjadi pahlawan: guru yang sabar mendidik generasi muda, petani yang tekun menanam harapan di ladang, atau anak muda yang menjaga integritas di tengah godaan zaman. Kepahlawanan adalah tentang keberanian moral, tentang memilih jalan yang benar meski sulit, dan tentang memberi tanpa pamrih.


Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)


Ayat ini mengingatkan kita bahwa pengorbanan di jalan kebaikan tidak pernah sia-sia. Para pahlawan yang telah mendahului kita mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan, dan kita yang masih hidup memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan mereka—dengan cara kita masing-masing.


Hari Pahlawan adalah panggilan untuk bangkit dari keacuhan. Ia mengajak kita untuk menyalakan kembali semangat cinta tanah air, memperkuat solidaritas sosial, dan menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa hidup ini adalah ladang amal. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik tolak untuk menjadi pribadi yang lebih peduli, lebih berani, dan lebih bertakwa.


Karena pada akhirnya, pahlawan bukan hanya dikenang karena keberaniannya, tetapi karena cintanya yang tulus kepada bangsa dan Tuhannya.

Selasa, 04 November 2025

Puisi: Aku Masih Belajar


Aku Masih Belajar

Oleh: Triyanto M. Faraz


Aku bukan cahaya,

hanya lilin kecil yang mencoba menerangi sekitarnya.

Kadang apinya redup,

kadang nyalanya tertiup lelah dan waktu.


Setiap pagi aku melangkah ke ruang kelas,

membawa harapan, juga rasa takut.

Takut bila ilmu yang kubagi

belum sampai pada hati yang kucintai.


Anak-anak datang dengan dunia mereka masing-masing,

ada tawa, ada luka, ada tanya yang belum terjawab.

Aku belajar dari mata mereka,

tentang kesabaran, tentang makna pengabdian.


Bukan aku yang selalu tahu segalanya,

merekalah yang sering mengajariku tentang hidup.

Tentang bagaimana jatuh, lalu bangkit;

tentang bagaimana berani bermimpi, meski langit mendung.


Dan di setiap ujung hari,

aku menundukkan kepala, berdoa lirih:

Ya Allah, jadikan pekerjaanku ini ibadah,

jadikan setiap kata yang terucap jadi cahaya,

bukan bara yang membakar hati mereka.


Aku bukan guru yang sempurna,

aku hanya murid yang tak berhenti belajar—

belajar mencintai,

belajar mengerti,

belajar menjadi manusia yang berguna.

Refleksi Hari Guru: Menjaga Kemuliaan, Mengukuhkan Integritas

Oleh: Triyanto, S. Pd. Setiap peringatan Hari Guru selalu membawa kita pada dua perasaan yang saling menguatkan: rasa bangga dan rasa perlu ...